Bob Marley, Sang Pemantra Rasta


Gedung London Lyceum malam musim panas tahun 1975. Tanggalnya 18 dan 19 Juli. Konon di dua malam inilah Robert Nesta Marley, atau Bob Marley, tuntas memenuhi suratan nasibnya ; menasbihkan dirinya sendiri menjadi pengkhotbah untuk kaumnya, kaum Rastafarian.

Benar bahwa sejak sekitar akhir tahun 60an Bob Marley telah menjadi salah satu pengkhotbah paling fanatik kaum Rastafarian. Tetapi dua malam di gedung pertunjukan tua Inggris itu Bob Marley mencapai kesempurnaan yang hanya bisa diimpikan oleh banyak pemusik besar dunia, siapapun ia. Bob Marley mencapai titik ekstase transendental di atas panggung. Panggung, bagi pemusik, adalah altar untuk mencari ekstase transendental yang tak bisa mereka dapatkan di dunia yang materialistik. Pengganti altar gereja, saf-saf masjid, teras-teras candi atau apapun namanya tempat bagi diberlangsungkannya upacara keagamaan. Tak banyak pemusik besar dunia yang bisa sampai ke taraf itu, dan juga tidak setiap kali naik ke panggung efek itu akan tercapai. Dua malam itu Bob Marley menyentuh impian yang selalu didambakan setiap pemusik. Ia kesurupan dengan energi yang sepertinya tak akan habis, membuang tubuhnya ke kiri dan kekanan, berputar-putar layaknya seorang sufi yang sedang mendendangkan lagu pujaan kepada tuhan, ia mampu menyebarkan vibrasi ekstasenya ke seluruh orang yang ada di dalam gedung. Seorang saksi mata pertunjukkan mengaku kalau malam itu Bob Marley memerintahkan mereka untuk membakar kota London, ia sangat yakin mereka akan membakarnya.


Bagi Bob Marley --yang tidak sekedar menganggap panggung pertunjukkan sebagai pengganti altar upacara keagamaan, tetapi adalah altar kegamaan itu sendiri-- dua malam di Lyceum London sangatlah berarti. Pada dua malam itu anggapan kaum Rastafarian bahwa ia memang seorang pendeta --dukun atau
shaman-- terteguhkan, sesuatu hal yang ia sendiri sebenarnya sudah meyakininya sejak lama.

1 Response

Posting Komentar